Hukum Pidana Terorisme
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Indonesia telah menyadari akan bahayanya
terorisme. Karena itulah, maka pemerintah berupaya membuat undang-undang (UU)
khusus mengatur terorisme. Pentingnya UU khusus yang mengatur terorisme semakin
dirasakan pemerintah setelah terjadi peristiwa bom di Bali tanggal 12 Oktober
2002 (Bom Bali 1). Peristiwa tersebut memberikan akibat yang luar biasa
terhadap bangsa Indonesia. Sehingga indonesia dianggap sebagai negara negara
yang rawan terhadap teror dan pada gilirannya terkesan menakutkan bagi siapa
pun yang ingin berkunjung.
Indonesia sendiri baru memiliki UU khusus yang
mengatur terorisme pada tahun 2002, yaitu melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1
tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Perpu ini kemudian
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditetapkan dengan
undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang Nomor 1 tahun tahun 2002 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme menjadi undang-undang.
Dalam penerapannya dilapangan, UU pemberantas
tindak pidana terorisme dinilai diskriminatif karena selalu dikenakan kepada
umat islam dan belum ada satu pun umat
non-muslim yang dikenakan UU tersebut.
Seperti beberapa kasus dengan pelaku non-muslim
yang seharusnya dijerat dengan UU pemberantas tindak pidana terorisme, ternyata
tidak digunakan, misalnya penyerangan di area PT Freeport,Timika, Papua yang
menewaskan dan melukai beberapa orang. Para pelaku dalam kasus ini dijerat
pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berancana, pasal 338 KUHP tentang pembunuhan,
pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun
1951 tentang kepemilikan senjata api.
2. Rumusan masalah
1) Seperti apakah definisi terorisme ?
2) Bagaimana kebijakan formulatif hukum pidana dalam penanggulanagan tindak
pidana di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Terorisme
Terorisme merupakan sebuah istilah yang tidak
mudah untuk di definisikan, bahkan hingga saat ini belum ada kesatuan definisi
mengenai terorisme, baik dari para ahli maupun konvensi-konvensi internasional.
Tidak adanya keseragaman dalam pendefinisian ini salah satunya dikarenakan
terorisme merupakan objek yang dapat dilihat dari multi-perspektif, seperti
politik, psikologi, kriminologi, hubungan internasional, psikologi dan lain
sebagainya. Dengan demikian maka definisi terorisme tergantung dari perspektif
mana melihatnya. Selain itu, pendefinisian terorisme sangat syarat dengan
kepentingan politik tertentu.
Dalam hukum pidana, terorisme sering
dikelompokan bersama-sama dengan fenomena kriminalitas konvensional. Namun
terorisme memiliki banyak aspek dan berbeda dalam banyak hal dari bentuk
kriminalitas biasa. Terorisme merupakan bentuk kejahatan yang terorganisir,
perlu dukungan finansial dan membutuhkan akses senjata dan bahan peledak.
Terorisme juga hanya dapat dipertahankan dengan dukungan politik tertentu.
Dengan karakteristik yang demikian itu sehingga banyak kesulitan dalam
mendefinisikan terorisme.[1]
Amnesti Internasional juga mengakui persoalan
sulitnya mendefinisikan terorisme sebagaimana terungkap dalam pernyataan “there
is no universally accepted definition of the word terrorism in general us or in
treaties and law designed to combat it.” Karena sulitnya mencari definisi
terorisme yang berlaku universal, maka pada awalnya terorisme hanya
dikategorikan sebagai tindak pidana yang ditujukan terhadap negara atau crimes
against state.[2]
Terorisme dalam bahasa inggris disebut “terrorism”
yang berasal dari kata “terror”, dan pelakunya disebut “terrorist”.
Berdasarkan Okford Paperback Dictionary, “terror”. Secara bahasa
diartikan sebagai “extreme fear” (ketakutan yang luar biasa), “terrifying
person or thing” (seseorang atau sesuatu yang mengerikan). Sedangkan “terrorism”
berarti “use of violence and intimidation, expecially for political
purposes.” Senada dengan pengertian diatas, Black’s Law Dictionary
mendefinisikan terorisme sebagai “the use or threat of violence to
intimidate or cause panic, esp as a means of affecting political conduct.” kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang
menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana.[3]
Dikalangan pakar sosial politik Barat sendiri
juga belum ada kesepakatan tentang definisi terorisme. J. Bowyer Bell misalnya
yang mendefinisikan terorisme sebagai senjata kaum lemah yang paling ampuh.
Sementara David Fromkin menyatakan bahwa “military action is aimed at
physical destruction while terrorism aims at phsycological
consequences.”
2. Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam penanggulanagan tindak pidana di
Indonesia
A. Proses Pembentukan Undang-Undang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di
Indonesia
Kriminalisasi terhadap terorisme dapat
dilakukan menggunakan tiga cara:
1) Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal dalam KUHP.
2) Melalui sistem kompromi dengan memasukan bab baru mengenai kejahatan
terorisme dalam KUHP.
3) Melalui sistem global dengan membuat pengaturan secara khusus dengan
undang-undang tersendiri di luar KUHP, termasuk kekhususan dalam hukum
acaranya.
Dilihat dari tiga cara tersebut, Indonesia
memilih menggunakan sistem global, yaitu melalui undang-undang khusus yang
mengatur terorisme di luar KUHP dengan disertai ketentuan-ketentuan khusus
termasuk hukum acaranya. Indonesia baru memiliki undang-undang khusus yang
mengatur tindak pidana terorisme tepatnya pada tanggal 18 Oktober 2002 (Bom
Bali 1), yaitu melalui peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Sebagaimana
disebutkan dalam pasal 22 UUD 1945, Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang
(Perpu) harus diajukan kepada dewan perwakilan rakyat (DPR) untuk diminati
persetujuan dalam persidangan berikut.
Pada tanggal 7 November 2002, pemerintah
melalui Presiden Megawati Soekarnoputri mengirimkan surat kepada DPR perihal
penyampaian Rancangan Undang-Undang (RUU) dibidang pemberantasan tindak pidana
terorisme. Dalam surat tersebut, Presiden memberikan opsi kepada DPR dengan
mengajukan empat RUU, yaitu:
a. RUU tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1
tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang.
b. RUU tetang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 2
tahun 2002 tentang pemberlakuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada peristiwa
peledakan Bom di Bali tangal 12 Oktober 2002 menjadi undang-undang.
c. RUU tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
d. RUU tentang pemberlakuan undang-undang pemberantasan tindak pidana
terorisme pada peristiwa peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.[4]
Pada tanggal 7 Februari 2003, DPR membentuk
panitia khusus (Pansus) RUU bidang pemberantasan tindak pidana terorisme yang
beranggotakan 50 orang dari berbagai fraksi yang ada.
setelah melalui beberapa tahap, pansus
menyampaikan laporan dalam Rapat Paripurna DPR mengenai pembahasan empat RUU
bidang pemberantasan tindak pidana terorisme. Dalam laporannya, ketua pansus
menyampaikan bahawa atas dasar pertimbangan perlunya payung hukum dalam
mengatasi tindak pidana terorisme yang sering terjadi pada waktu itu, maka
pansus merekomendasikan kepada DPR agar meminta persetujuan fraksi terhadap:
1) RUU tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1
tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang.
2) RUU tetang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 2
tahun 2002 tentang pemberlakuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada peristiwa
peledakan Bom di Bali tangal 12 Oktober 2002 menjadi undang-undang.[5]
Setelah disetujui DPR, maka pada tanggal 4
April 2003 Presiden mengesahkan dua undang-undang, yaitu:
i.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang.
ii.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang
penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 pada
peristiwa peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang.[6]
B. Kebijakan perumusan bobot sanksi pidana
Dalam menentukan atau menilai suatu bobot sanksi pidana, salah satunya
dapat didasarkan pada teori proporsionalitas ordinal (ordinal
proporsionality). Menyatakan bahwa penentuan terhadap kelayakan bobot
sanksi pidana bagi tindak pidana tertentu harus diperbandingkan dengan tindak
pidana lain yang mirip, dan diperbandingkan terhadap keseriusan tindak pidana
lain. Dari beberapa tindak pidana terorisme, yang memiliki kemiripan adalah
Pasal 6 dan 7. Kedua pasal tersebut juga merupakan tindak pidana pokok dalam UU
pemberantasan tindak pidana terorisme.
Pasal 6
Tindak pidana:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atu kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasiitas publik atau fasilitas internasional.
Bobot sanksi pidana:
Pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat
tahun dan paling lama dua puluh tahun.
Pasal 7:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atu kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis, atau lingkungan hidup, atau fasiitas publik, atau fasilitas
internasional.
Bobot sanksi pidana:
Pidana penjara paling lama seumur hidup.[7]
Penentuan bobot sanksi pidana kedua pasal tersebut merupakan konsekuensi
dari perbedaan pada perumusan deliknya. Tindak pidana pada pasal 6 diancam
dengan saknsi pidana lebih berat karena merupakan delik materiil yang mensyaratkan
adanya akibat tertentu, sedangkan pasal 7 diancam dengan sanksi pidana lebih
ringan karena merupakan delik formiil yang hanya menekankan kepada perbuatan
tanpa mensyaratkan akibat tertentu. Berdasarkan alasan tersebut, pembeadaan
antara sanksi pidana pasal 6 dan 7 sudah proporsional[8].
C. Konsep perlindungan HAM dalam UU pemberantasan tindak pidana terorisme
Menurut Romli Atmasasmita, terdapat tiga paradigma
yang di jadikan pertimbangan dalam proses perumusan UU Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, yaitu Primat National Defence (PND), Primat Due
Process of Law (PDPL), dan Primat Victim’s Protection (PVP) .
Terhadap tiga paradigma tersebut, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
mengambil konsep Keseimbangan Berjarak (KsB) atau Equal Distance concept (EqD).
Maka konsep yang dibangun
dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah dengan memperhatikan tiga
kepentingan sekaligus secara seimbang, yaitu perlindungan terhadap negara
(PND), perlindungan hak asasi korban (PVP) dan perlindungan hak asasi
tersangka/terdakwa (PDPL). Konsep KsB ini telah secara ekspilit dituangkan
dalam penjelasan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyatakan bahwa
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia tidak semata-mata merupakan
masalah hokum dan penegakan hokum, melainkan juga merupakan masalah sosial,
budaya , ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga
menjadi kebijakan, langkah pencegahan dan pemberantasanya pun ditujukan untuk
memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara,hak asasi
korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa.[9]
D. Pengaturan HAM tersangka atau terdakwa
Keberadaan lembaga “hearing”
dan cakupan alat bukti yang berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap
HAM seseorang. Baik dalam kapasitasnya sebagai tersangka maupun terdakwa. Oleh
karena itu pengaturan hak-hak tersangka/terdakwa secara memadai menjadi sangat
penting. Patut disayangkan ternyata UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
tidak banyak mengatur hak-hak tersangka/terdakwa. Satu-satunya ketentuan khusus
yang mengatur hak tersangka/terdakwa terdapat pada pasal 19 yang menyangkut hak
tersangka/terdakwa yang berusia dibawah 18 tahun untuk tidak dijatuhi pidana
minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 8, pasal 9, pasal 10,
pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 15, pasal 16, dan tidak dijatuhi pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 14.
Ketentuan khusus mengenai jangka waktu penahanan dan penangkapan
yang panjang seharusnya diikuti juga dengan pengaturan hak-hak tersangka yang
dapat menjamin agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang oleh aparat.
KUHAP sebenarnyatelah mengatur hak-hak tersangka/terdakwa agar tidak
diperlakukan sewenang-wenang selama ditahan, yaitu :
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut
tatacara yang ditentukan dalam KUHAP.
Hak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya.
Hak untuk menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan
KUHAP.
Ketentuan sebagaimana diatur dalam KUHAP tersebut masih perlu
ditegaskan terkait dengan waktu-waktu pemeriksaannya, misalnya dibatasi pada
setiap hari kerja saja, karena tidak mungkin penasihat hokum dapat mendampingi
selam 24 jam penuh dalam sehari selama tersangka/terdakwa dalam tahanan. Dalam
kasus terorisme, pemeriksaan dapat dilakukan kapan saja, termasuk dimalam hari.
Misalnya dalam kasus Hanid Razzaq, terdakwa Kasus bom Makasar yang mengaku
mendapatkan tekanan secar fisik dan psikis dalam pemeriksaan di tingkat
penyidikan. Ia merasa tersiksa karena diperiksa pada jam 01:00 hingga waktu
subuh padahal ia menderita penyakit jantung yang tidak tahan terhadap udara
dingin. Meskipun pasal 57 KUHAP menjamin tersangka/terdakwa untuk menghubungi
penasihat hukumnya, namun pemeriksaan yang tidak dibatasi waktunya dapat
menyulitkan komunikasi dengan penasihat hukumnya.[10]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Terorisme merupakan sebuah istilah yang tidak mudah untuk
di definisikan, bahkan hingga saat ini belum ada kesatuan definisi mengenai
terorisme, baik dari para ahli maupun konvensi-konvensi internasional.
Terorisme dalam bahasa inggris disebut “terrorism” yang
berasal dari kata “terror”, dan pelakunya disebut “terrorist”.
Berdasarkan Okford Paperback Dictionary, “terror”. Secara bahasa
diartikan sebagai “extreme fear” (ketakutan yang luar biasa), “terrifying
person or thing” (seseorang atau sesuatu yang mengerikan).
Dalam memberantas tindak terorisme ini Indonesia memilih
menggunakan sistem global, yaitu melalui undang-undang khusus yang mengatur
terorisme di luar KUHP dengan disertai ketentuan-ketentuan khusus termasuk
hukum acaranya.
Dalam menentukan atau menilai suatu bobot sanksi pidana,
salah satunya dapat didasarkan pada teori proporsionalitas ordinal (ordinal
proporsionality). Menyatakan bahwa penentuan terhadap kelayakan bobot
sanksi pidana bagi tindak pidana tertentu harus diperbandingkan dengan tindak
pidana lain yang mirip, dan diperbandingkan terhadap keseriusan tindak pidana
lain.
Menurut
Romli Atmasasmita, terdapat tiga paradigma yang di
jadikan pertimbangan dalam proses perumusan UU Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yaitu Primat National Defence (PND), Primat Due Process of
Law (PDPL), dan Primat Victim’s Protection (PVP) . Terhadap tiga
paradigma tersebut, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengambil konsep
Keseimbangan Berjarak (KsB) atau Equal Distance concept (EqD).
DAFTAR PUSTAKA
Wibowo, Ari, Hukum Pidana Terorisme, Yogyakrta:
Graha Ilmu, 2012
[1] Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, Yogyakrta: Graha Ilmu, 2012.
Hlm. 57
[2] Ibid, Ari Wibowo,............... Hlm. 58
[4] Ibid, Ari Wibowo,............... Hlm. 88
[5] Ibid, Ari Wibowo,............... Hlm. 90
[6] Ibid, Ari Wibowo,............... Hlm. 94-95
[7]
Ibid, Ari Wibowo,............... Hlm. 142-143
[8] Ibid, Ari Wibowo,............... Hlm. 144
Best Casinos in Kansas City (MO) - JMHub
ReplyDeleteThe 서귀포 출장안마 Borgata Hotel Casino & 김제 출장안마 Spa has over 3,300 rooms, 안동 출장안마 including 3,700 at Caesars Casino 제천 출장마사지 & Spa. The Borgata Hotel Casino & Spa has 3,700 rooms, including 3,700 at 군포 출장안마 Caesars Casino &