Prosesi Perkawinan (fiqih munakahat)
A.
Syarat-syarat sebelum akad nikah
Syarat adalah sesuatu yang harus ada sebelum
prosesi akad nikah. Syarat-syarat nikah pada pokoknya ada dua[1]:
1.
Tahsiniyyah, Yaitu syarat yang menambah bagusnya
perkawinan, meskipun tidak harus dilakukan, meliputi:
a. Hibah, hantaran, dan hadiah-hadiah
b. Khitbah, termasuk khutbah saat lamaran, melihat calon istri dan suami, dan
perkenalan
c. Mengikuti adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syara’
2.
Lazimiyah, yaitu syarat yang wajib ada, baik yang ada
pada pihak calon istri, calon suami, maupun pada penyelenggaraan akad nikah.
Disyariatkan sahnya akad nikah kehadiran empat
orang yaitu:
1. Wali
2. Kehadiran calon suami
3. Kehadirab dua orang saksi
Secara garis besarnya, syarat sebelum akad
nikah ini ada tiga[2]:
1.
Izin wali
2.
Kafa’ah
3.
Mahar
1.
Izin wali
Wali adalah orang yang mengakadkan nikah itu
menjadi sah. Wali merupakan suatu ketentuan hukum syara’ yang dapat dipaksakan
kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya
atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah
itu atau mewakilkannya kepada orang lain[3].
Pentingnya ada izin sorang wali ini
sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Burdah Bin
Abu Musa, dari ayahnya RA, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda:
لانكاح الاّ بوليّ
“tidak ada
nikah kecuali dengan wali”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Imam empat,
dishahihkan oleh Ibnu al-Madini dan at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban menyatakannya
berIllat karena kemursallannya.
لانكاح: tidak ada pernikahan, maksudnya tidak sah perkawinan
الاّ بوليّ: kecuali
dengan wali, maksudnya hendaklah yang mengakadkan nikah kepada calon suami
adalah wali si calon istri, sama saja, apakah walinya itu karena kerabat yang
paling dekat dengannya atau karena dia adalah penguasa atau wakil penguasa[4].
Dan sabda Rasul SAW:
“dari Aisyah,
Rasulullah saw, bersabda: siapa diantara wanita yang menikah tanpa seizin
walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika lelakinya
telah menyenggamnya maka ia berhak atas maharnya, karena itu telah menghalalkan
kehormatannya. Jika pihak wali enggan menikahkannya maka hakimlah yang
bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibn Hiban dan
Al-Hakim)[5]
Sebagian besar para
ulama berpendapat bahwa perkawinan mempunyai beberapa tujuan. Karena wanita
suka dipengaruhi oleh perasaannya, maka ia tidak pandai memilih, sehingga tidak
dapat memperoleh tujuan-tujuan utama perkawinan. Para wanita tidak boleh
mengurus langsung akadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar
tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna[6].
Syarat wali
Syarat bagi orang yang bertindak sebagai wali
adalah merdeka, berakal dan baligh, baik apabila dia menjadi wali bagi orang
muslim ataupun orang non-muslim. Sementara budak, orang gila, ataupun anak
kecil, mereka tidak diperkenankan menjadi wali. Mereka juga tidak memiliki
perwalian atas dirinya sendiri, sehingga mereka juga tidak memiliki hal untuk
menjadi wali bagi orang lain. Sebagai penambahan syarat untuk menjadi wali dia
harus beragama Islam apabila orang yang dibawah perwaliannya Muslim. Sementara
walinya orang yang tidak beragama islam, dia tidak diperkenankan menjadi wali
seseorang Muslim. Sebagaimana dasarnya dalam firma Allah SWT surat An-Nisa: 141[7],
`s9ur................... Ÿ@yèøgs† ª!$# tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 ’n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸x‹Î6y™ ÇÊÍÊÈ
“dan
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman”
Macam-macam wali nikah
Wali nikah terdiri dari empat kelompok. Urutan
kedudukan kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain berdasarkan
erat tidak susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
1) Kelompok pertama adalah kerabat laki-laki garis lurus keatas, yakni: Ayah,
Kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
2) Kelompok kedua adalah kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara
laki-laki seayah dan keturunan anak laki-laki mereka.
3) Kelompok ketiga adalah kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara laki-laki seayah dan keturunan anak laki-laki mereka.
4) Kelompok keempat adalah saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah kakek, keturunan anak laki-laki mereka[8].
2.
Kafa’ah
kafaah ialah serupa, seimbang atau serasi.
Maksudnya keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa keberatan untuk melangsungkan pernikahan[9].
Kafa ditinjau dari sisi kebahasaan mengandung arti persamaan dan keserupaan,
sedangakan kafa’ adalah orang yang serupa dan sepadan. Maksud kafaah dalam
pernikahan adalah bahwa suami hendaknya sekufu dengan istrinya. Artinya dia
memiliki kedudukan sama dan sepadan dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial,
moral dan ekonomi.
Tidak dipungkiri bahwa manakala kedudukan suami sepadan dengan
kedudukan istri , maka keharmonisannya dalam berumah tangga kemungkinan besar
dapat tercapai dan menutup segala pintu yang dapat menghancurkan pernikahannya[10].
Ukuran kafa’ah
Untuk terbinanya dan tercapainya suatu rumah
tangga yang sakinah maupun mawadah dan rahmah, islam menganjurkan agar adanya
keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon
suami istri itu. Tetapi hal itu bukanlah merupakan suatu hal yang mutlak,
melainkan suatu hal yang harus diperhatikan guna tercapainya tujuan pernikahan
yang bahagia dan abadi. Pada prinsipnya Islam memandang sama kedudukan umat
manusia hanya dibedakan oleh taqwa tidaknya seseorang tersebut.
Firman Allah SWT, QS. Al-Hujurat: 13,
$pkš‰r'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu‘$yètGÏ9 4
¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& y‰YÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4
¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”
Dan sabda Rasulullah SAW:
“manusia itu sama seperti gigi sisir yang
satu, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang ‘Azam (bukan orang arab),
kecuali dengan taqwa”.
(HR. Abu Daud)
Jelas bahwa taqwalah yang membedakan manusia
atau dengan yang lain menurut pandangan Allah, bukan masalah kebangsawanan,
kebangsaan, harta ataupun kecantikan. Berbiacara masalah taqwa berarti tentang
agama dan akhlak. Bobot utama dalam masalah kafa’ah atau kufu ini adalah agama
dan akhlak itu. Adapun yang selain itu adalah merupakan bobot pelengkap[11].
Pendapat jumhur ulama fiqih tentang kafa’ah[12]:
1)
Golongan hanafiyah berpendapat kafaah dalam
nikah sebanding dalam:
a)
Keturunan
b)
Islam
c)
Pekerjaan
d)
Merdeka
e)
Agama
f)
Harta
2)
Golongan malikiyah berpendapat kafaah dalam
nikah sebanding dalam:
a)
Agama
b)
Calon pria bebas dari cacat yang besar yang
dapat mengakibatkan wanita tersebut dapat melaksanakan hak Khiyar atau hak
pilihnya
Hak atas Kafa’ah
Yang berhak atas kafa’ah itu adalah wanita dan
yang berkewajiban harus kafa’ah adalah pria. Jadi yang dikenal persyaratan
harus kufu atau harus setaraf itu adalah laki-laki terhadap wanita. Kafaah ini
adalah hak wanita dan wali, oleh karena itu keduanya berhak menggugurkan
kafa’ah.
Jadi, kafa’ah itu diperhitungkan sebagai
syarat sah nikah manakala si wanita tidak ridha, kalau dia ridha kafa’ah tidak
menjadi persyaratan sah atau tidaknya nikah[13].
Dan kalau laki-laki lebih tinggi kedudukannya,
derajatnya, agama dan kejujurannya dari wanita bukan menjadi masalah[14].
Sabda Rasulullah SAW:
“bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
barangsiapa mempunyai budak perempuan, lalu diajarkannya dengan pelajaran yang
baik kepadanya, kemudian dimerdekakan dan terus dinikahinya, maka itu medapat
dua pahala.”
(HR. Bukhari-Muslim)
3.
Mahar
Mahar dalam hukum islam disebut dengan
istilah-istilah sadaq (jamaknya suduqat),nihlah, faridah (jamaknya
fara’id), ajr (jamaknya adalah ujur), ‘iqr (jamaknya adalah
a’qar), ilq (jamaknya adalah ‘ala’iq), dan haba’. Semuanya
bermakna mas kawin[15].
Mahar adalah nama suatu benda yang wajib
diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebut dalam akad
nikah sebagai pernyataan persetujuan antar pria dan wanita itu untuk hidup
bersama sebagai suami istri.
Mahar adalah harta atau manfaat yang wajib
diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita dengan sebab nikah atau
watha’. Mahar itu sunnah disebutkan jumlah atau bentuk barangnya dalam akad
nikah. Apa saja barang yang ada nilai atau harganya, sah untuk dijadikan mahar.
Dan apabila mahar tidak disebut maka tetap sah dan wajib membayar mahar mitsil[16].
Hukum mahar
Ulama bersepakat bahwa mahar itu wajib
hukumnya dalam suatu perkawinan dan merupakan syarat sahnya perkawinan[17].
Hal ini berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%߉|¹ \'s#øtÏU 4
bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿ‹ÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ
“berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dari ayat diatas jelaslah bahwa mahar adalah
pemberian pria kepada wanita sebagai pemberian wajib, bukan sebagai pemberian
atau ganti rugi. Dalam hal itu mahar adalah untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan
tali kasih sayang dan saling cinta-mencintai antara kedua suami istri. Dengan
syari’at mahar ini bahwa islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan
wanita. Islam juga memberikan hak dan wewenang untuk mengurus harta wanita itu
dan mengurus dirinya sendiri.
Jumlah dan bentuk mahar sebaiknya bersifat
sederhana, dalil-dalil petunjuk atau hadits-hadits yang berkaitan dengan
masalah ini antara lain:
Sabda Rasulullah SAW:
“dari Amir Ibn Rabi’ah, bahwa sesungguhnya
seorang dari bani fazah telah kawin dengan mahar sepasang sendal, bersabda
Rasulullah SAW: apakah engkau relakan dirimu dan milikmu dengan sepasang
sendal? Jawab wanita itu: ya, lalu Nabi membolehkannya.”
Pada dasarnya ulama bersepakat dengan ijma’ bahwa
tidak ada batas maksimal dan minimal besar mahar, yang terpenting pada
prinsipnya ialah segala sesuatu yang memiliki nilai atau harga dalam transaksi
jual beli atau jasa dan persewaan dapat dijadikan sadaq[19].
Macam-macam mahar
Macam-macam mahar ada dua[20]:
1)
Mahar musamma, yaitu mahar yang disebutkan jenis jumlahnya
pada waktu akad nikah berlangsung.
2)
Mahar misl, yaitu mahar yang menjadi hak seorang perempuan
yang dinikahi yang dimisilkan dengan peringkat perempuan-perempuan
sepadannya dalam waktu akad, baik umur, kecantikan, kekayaan, akal, agama,
kegadisan, kejandaan, maupun negaranya.
B.
Walimatul ‘ursy
Kata walimah diambil dari bahasa arab
yang berarti berkumpul, karena banyak mausia yang berkumpul untuk menghadiri
suatu jamuan makan sebagai pencetusan tanda gembira dan lainnya. Tetapi
biasanya kalau menyebut walimah, maksudnya adalah walimatul ‘ursy artinya
perayaan pernikahan.
Dalam kitab tafsir An-Nihayah juz V halaman
226 seperti yang dikutip oleh Departemen Agama dalam buku Ilmu Fiqh:
“yaitu makanan yang dibuat untuk pesta
perkawinan”
Menurut Sayyid Sabiq, walimah diambil
dari kata-katawalama yang arti harfiyahnya berkumpul. Oleh karena pada
waktu itu berkumpul suami istri. Dalam arti istilah berarti jamuan khusus
diadakan perayaan pesta perkawinan atau setiap jamuan untuk pesta lainnya[21].
Hukum walimatul ‘ursy[22]
Walimatul ‘ursy itu hukumnya sunah mu’akkad
yang diadakan atau dibiayai oleh suami atau ayah atau kakek suami dari
hartanya. Tidak ada ketentuan berapa besar kadar jamuan itu, tetapi afdhal
memotong seekor kambing. Didalam kitab At-Tuhfah, apabila walimah itu diadakan
oleh selain suami atau ayah suami seperti diadakan oleh ayah istri atau kakek
istri, maka telah terlaksana sunnah walimah itu.
“melaksanakan acara jamuan perayaan nikah
disunnahkan dan mengabulkan undangan menghadirinya adalah wajib, kecuali kalau
ada uzur.”
Sabda Rasulullah SAW:
“Rasulullah saw, bersabda kepada Umar Abdurrahman
Ibn Auf, adakanlah walimah sekalipun dengan memotong seekor kambing.”
Sabda Rasulullah SAW:
“dari Buraidah ia berkata: ketika Ali melamar
Fatimah Rasulullah saw bersabda: untuk pernikahan ini tidak boleh tidak mesti
ada walimahnya.”
(HR. Ahmad)
Waktu walimatul ‘ursy
Tidak ada ketetapan yang pasti kepada waktu
penyelenggaraan walimatul ‘ursy. Hal ini tergantung kepada keadaan.
Walimah dapat diadakan sesudah berlangsung akad nikah dan dapat juga diadakan
setelah bergaul sebagai suami istri. Kedua hal ini diatas pernah dilakukan oleh
Nabi saw[23].
Merayakan waliamah dengan kesenian[24]
Suatu pernikahan yang dimeriahkan dengan acara
kesenian dalam buku Fiqih Munakahat karangan Djaman Nur dinyatakan bahwa
boleh-boleh saja bahakan hukumnya sunnah. Dengan mengacu dari beberapa hadits
sebagai berikut:
Sabda Rasulullah SAW:
“ batas antara yang halal dengan yang haram
itu ialah bunyi genderang , rebana dan bunyi suara lagu didalam pernikahan.”
(HR. Khamsah)
Sabda Rasulullah SAW:
“umumkanlah pernikahan ini dan tabuhkanlah
genderang untuk itu.”
(HR. Ibn Majah)
[1] Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, Semarang:
CV. Karya Abadi Jaya, hlm. 71
[2] Supangat, RPS fiqh munakahat
(IFS21007), No. Dok. 5.2.3-01, hlm. 5-6
[3] Djamaan Nur, fiqih Munakahat, Semarang:
CV. Toha Putra Semarang, hlm. 65
[4] Abdul Qadir S, Sayarah Bulughul Maram
(6), Jakarta: Darul Haq, hlm. 305
[5] Op.cit, Djamaan Nur, fiqih Munakahat,hlm.
67-68
[6] Loc.cit, Djamaan Nur, fiqih Munakahat,hlm.
68
[7] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3, Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2008, hlm. 368
[8] Op.cit, Djamaan Nur, fiqih Munakahat,hlm.
65-66
[9] Departemen Agama, Ilmu Fiqh, jilid II,
Jakarta, 1984/1985, hlm. 95
[10] Op.cit, Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3,hlm.
392
[11] Op.cit, Djamaan Nur, fiqih Munakahat,hlm.
76-77
[12] Ibid, Djamaan Nur, fiqih Munakahat,hlm.
78
[13] Sayyid sabiq, Hasyiyah I’anatul
Thalibin, juz III, Singapura, tt, hlm. 330
[14] Op.cit, Djamaan Nur, fiqih Munakahat,hlm.79
[15] Op.cit, Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, hlm.
83
[16] Op.cit, Djamaan Nur, fiqih Munakahat,hlm.
81
[17] Op.cit, Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, hlm.
84
[18] Op.cit, Djamaan Nur, fiqih Munakahat,hlm.
83
[19] Op.cit, Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, hlm.
86
[20] Ibid, Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, hlm.
89
[21] Op.cit, Djamaan Nur, fiqih Munakahat, hlm.
91-92
[22] Loc.cit, Djamaan Nur, fiqih Munakahat, hlm.
92
[23] Ibid, Djamaan Nur, fiqih Munakahat, hlm.
94
[24] Ibid, Djamaan Nur, fiqih Munakahat, hlm.
96
Comments
Post a Comment